Saliem Sabendino
Angeline, tidak jahat. Angeline, bukan
penjahat. Mengapa Angeline dibunuh?
Angeline, adalah sebuah drama kematian,
kemudian melahirkan drama-drama lain yang saling mematikan. Angeline bukan
penjahat, dia bukan begal, bukan rampok, bukan koruptor dan bukan pengedar
narkoba.
Lalu mengapa ia dibunuh? Angeline
sepanjang waktu dijauhi teman hanya karena bau kotoran ayam, dan kemudian mati
dilempar, diinjak, dibenamkan pula di bawah kandang ayam. Angeline yang
dikabarkan hilang kemudian ditemukan bersama kabar duka yang menyeruak dari
baliksampah-sampah dan kotoran ayam.
Sebuah skenario pembunuhan yang
sempurna, membuat siapapun begidik dan miris ketika menyimaknya. Namun Angeline
hanya salah satu kisah yang kemudian
dibicarakan dari sekian jumlah kejahatan orang tua terhadap anak-anak
yang terdiam begitu saja.
Dari berbagai cerita kejahatan yang
melibatkan orang tua dan anak-anak tentunya dapat menimbulkan sebuah kesimpulan
yang dapat disepakati bahwa proses penghargaan dan kepercayaan terhadap
anak-anak jauh dari bahasa kasih. Kisah serupa secara laten terjadi dari waktu
ke waktu.
Drama pilu Angeline dan fenomena J.I.S
adalah kejadian yang masih menyisakan bekas yang jelas. Hal ini bukan semata
persoalan drama kriminal semata. Akan
tetapai persoalan tipisnya perhatian, penghargaan dan kepercayaan terhadap
anak-anak menjadi babak yang tersirat di dalamnya.
Coba kita hitung secara ngawur saja,
seberapa sering kita menjumpai seorang ibu yang dengan santai menggandeng anak
balitanya sementara pandanganya fokus pada gadget yang ada ditangan satunya
lagi atau pada shop display sebuah
swalayan. Kemudian seorang guru yang asyik ber_catting ria sementara puluhan
siswa di hadapanya sedang seksama mengerjakan tugas yang diberikanya.
Dari sini kemudian bisa menemukan sebuah
cermin buram yang bila dilihat dengan seksama ada sebuah bayangan utuh yang
sama mirisnya dengan wajah tragedi kematian Angeline. Ada ribuan bahkan jutaan Angeline
yang sejatinya hidup tanpa penghargaan, tanpa perhatian dan tanpa kepercayaan.
Mereka hidup tapi sebenarnya dimatikan.
Setiap anak hidup butuh perhatian dan
perlakuan khusus dari lingkungannya untuk membangun rasa percaya dirinya. Tanpa
perhatian dan kepercayaan khusus seorang anak tidak mungkin menemukan kepercayaan
dirinya. Membangun kepercayaan diri pada anak-anak untuk menuju masa
selanjutnya bukan pekerjaan magic. Bim salabim berubah...!! lantas berubahlah
kepribadian anak tersebut.
Perhatian khusus yang dibutuhkan dalam
membangun mentalitas seorang anak adalah dalam hal kesabaran dalam mendidiknya.
Dan hal ini yang sering kali dilupakan oleh orang-orang tua terhadap anak-anak.
Penerapan kesabaran terhadap seorang
anak harus dibedakan dengan perlakuan sabar dengan orang yang lebih dewasa.
Penerapan kesabaran terhadap anak-anak harus mendapat porsi ganda, karena
secara mental seorang anak masih sangat rentan dengan persinggungan terhadap
gejolak dilingkunganya. Dan hal ini sangat memungkinkan menimbulkan trauma yang
akan membekas dan berpengaruh besar terhadap proses perkembangan kejiwaan anak
tersebut.
Akan tetapi dalam persoalan kesabaran
justru berlaku sebaliknya. Kesabaran terhadap usia kanak-kanak justru lebih
sering dikorting. Atau dengan kata lain batas kesabaran dipersempit. Artinya
orang yang lebih dewasa akan lebih mudah meluapkan kemarahanya terhadap anak-anak.
Dan yang lebih fatal lagi kemarahan tersebut terkadang diluapkan dihadapan
umum.
Hal ini terjadi begitu saja seakan di luar
kesadaran orang-orang tua, atau dengan kata lain hal ini menjadi hal yang
lumrah dan disepakati. Akan dianggap biasa ketika orang tua memarahi seorang
anak yang tanpa sengaja memecahkan vas bunga. Dan hal tersebut begitu entengnya
dilakukan ditengah banyak orang atau di tengah anggota keluarga lainya.
Dari sini kemudian dapat kita tarik
benang merah bahwa banyak sekali para orang tua yang hadir didepan anak-anaknya
secara hitungan usia belaka. Banyak yang gagal hadir sebagai orang tua secara
mental dan jiwa.
Kita lebih sering dipandang dan dipahami
sebagai orang tua, dengan melupakan bahwa ada masa lain yang perlu kita pahami
dan kita mengerti ada dihadapan kita. Yakni, masa kanak-kanak yang penuh keriangan,
kegembiraan dan keingin mengertian. Sehingga sering kali kita berkehendak
mereka harus seperti kita, atau bahkan mereka adalah kita.
Hal semacam ini akan berpengaruh sangat
kuat dengan perkembangan mental anak tersebut. Karena setiap anak akan hidup
dan berkembang seiringan dengan lingkungan sekitarnya. Anak-anak akan berlaku
dan berbicara dengan bahasa lingkunganya. Dalam teori psycho analisa Sigmund
Frued mengatakan bahwa seorang anak akan mempelajari bahasa ibunya kemudian
digunakan untuk berkomunikasi dengan lingkunganya.
Dalam teori gross ini Frued mengatakan
bahwa pada perkembangan selanjutnya lingkungan akan memberi pengaruh yang
begitu kuat terhadap bahasa seorang anak.
Kemudian jika kita berkaca dengan drama
kematian Angeline maka timbulah sebuah tanda tanya besar akan perwujudan bahasa
kasih para orang tua/orang yang lebih tua terhadap anak. Selanjutnya apakah
kita akan berdebat panjang tentang ini salah siapa? Dan tidak pernah merenungi
tentang benarnya bagaimana? Dosa-dosa kecil yang terbiasa kita maklumkan, kita
wajarkan dan kita sepakati sebagai sesutu yang layak suatu saat pasti akan
menjadi rangkuman kisah yang lebih tragis lagi.
Angeline, fenomena JIS atau tragedi
Tiara di makasar, si malaikat kecil yang setiap hari menjadi penjual kue dan
tukang parkir harus meregang nyawa ditangan ayah kandungnya sendiri. Semua itu
sebenarnya bukan dongeng untuk menakut-nakuti anak-anak agar menurut sepenuhnya
terhadap orang tua. Akan tetapi semoga kisah itu menjadi cermin bagi para orang
tua untuk memahami dunia anak-anak dan apa yang seharusnya dibutuhkan oleh
anak-anak untuk membangun kehidupanya kedepan.
Angeline, tidak jahat. Angeline, bukan
penjahat. Mengapa Angeline dibunuh?
Saliem Sabendino, praktisi seni dan penggiat teater