Wanita dan Senjakala Peradaban Bangsa


Saliem Sabendino

"Berilah pendidikan kepada bangsa kita, berilah pendidikan hati dan pikiran kepada wanita, nanti mereka akan menjadi peserta dalam menunaikan tugas suci, peradaban rakyat kita yang berjuta-juta, berikanlah ibu-ibu yang tegas dan bijaksana, maka kemajuan bangsa hanya soal waktu saja“

Demikian beberapa larik kalimat petikan dari cita- cita luhur Kartini tentang pendidikan bangsa terutama kaum wanita yang termaktub dalam buku “VAN DUISTERNIS TOT LICHT“ (kumpulan surat yang Kartini tulis pada tahun 1899-1904) yang selanjutnya diterjemahkan Armin Pane dalam Habis Gelap Terbitlah Terang.
Dalam pandangan dan cita-cita Kartini tersebut betapa jelas kalau Kartini memiliki keyakinan bahwa para wanita memiliki tugas suci dalam peradaban sebuah bangsa. Atau dengan kata lain peran ibu-ibu dalam sebuah bangsa adalah sebagai ibu peradaban.
Sebab tak dapat dipungkiri posisi para wanita dalam sebuah bangsa adalah sebagai penanda/ikon peradaban atau kebudayaan sebuah bangsa. Dimana setiap perubahan maupun perkembangan peradaban/kebudayaan akan ditandai oleh keadaan para wanita dari bangsa tersebut baik dari gaya hidup maupun pola pikir.

Hal ini dapat kita lihat dari belahan dunia manapun bahwa suatu bangsa yang memiliki peradaban/kebudayaan yang kuat akan ditandai dengan keberadaan gaya hidup serta para wanitanya.
Atau dengan kata lain pencitraan peradaban sebuah bangsa adalah dapat dilihat dari konsistensi para wanita untuk berpegang teguh pada budaya/peradaban baik ditengah bangsanya sendiri maupun dimata dunia.
Dalam hal ini Kartini memberi rumusan yang agung terhadap konsep pendidikan bagi bangsa terutama kaum wanita. Ada termaktub dalam penggalan kalimat diatas "berikanlah pendidikan hati dan pikiran kepada wanita".
Ini adalah sebuah kegelisahan paling dasar bahwa dalam menerima maupun memperoleh pendidikan harus lah dimulai dari permasalah kecerdasan rasa baru disempurnakan dengan kecerdasan fikir.
Dan tentunya ini adalah merupakan aspek dasar kecerdasan yang harus diterima oleh segenap bangsa baik kaum lelaki maupun kaum wanita yang meliputi kecerdasan EQ (emotional quotient), IQ (intelektual quotient) dan SQ (spiritual quotient). 
Keberimbangan dari tiga kecerdasan tersebutlah yang mampu mengantarkan manusia pada tujuan luhur pendidikan nasional “menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Yuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab“.
Secara kongkret Kartini memberikan bukti dengan mendirikan sekolah bagi gadis-gadis dilingkungannya dengan memberi pelajaran menjahit, menyulam, memasak dan bahasa jawa yang dilakukan selama empat hari dalam sepekan.
Melihat hal yang dilakukan Kartini ini tidak serta merta secara ansih meletakkan posisi wanita pada post scond line kehidupan. Akan tetapi secara bijak kartini memposisikan para wanita agar sadar dalam memahami posisi dirinya baik kodrat naqliyah maupun kodrat cultural.
Pelajaran tentang ketrampilan menjahit, menyulam, memasak dan lain sebagainya adalah cara menempatkan posisi wanita sebagai  penjaga peradaban dari lingkungan terkecil yaitu keluarga. Selanjutnya adalah pelajaran tentang bahasa Jawa, bahwa dalam hal ini Kartini memberikan persiapan kepada para gadis di lingkungannya agar kelak menjadi para wanita yang berpegang teguh pada peradaban dan budaya bangsa.
Bahasa merupakan hal yang paling mendasar dan memiliki pengaruh yang besar pada peradaban dan budaya tiap bangsa. Dengan kata lain Kartini menempatkan posisi wanita pada strata emansipatied dalam rangka menjaga peradaban bangsa.
Dapat kita pahami dengan jelas bahwa Kartini percaya dan yakin akan kekuatan wanita untuk ikut memajukan bangsa. Hal ini tersirat secara jelas dalam kalimat “berikanlah ibu-ibu yang tegas dan bijaksana, maka kemajuan bangsa hanya soal waktu saja”. Dan tentunya keyakinan Kartini ini bukan tanpa sarat, melainkan ada syarat yang termaktub dengan jelas yakni dengan ketegasan dan kebijaksanaan.
Lantas seperti apakah wanita yang dimaksudkan Kartini sebagai Ibu-Ibu yang tegas dan bijaksana? Tentunya adalah para wanita yang tegas dan bijaksana dalam mensikapi segala perkembangan jaman.
Tegas meyakini dirinya sebagai wanita secara kodrat naqliyah maupun kodrat cultural, serta bijaksana dalam mensikapi kehidupan yang melaju seiring perkembangan jaman. Sehingga keberadaan wanita memang benar-benar mampu diharapkan sebagai ibu bagi peradaban sebuah bangsa.
Karena dari para ibulah budaya maupun peradaban pertamakali dikenal oleh generasi selanjutnya. Atau dengan kata lain bahasa ibu lah yang mampu membentuk laku budaya para pribadi-pribadi yang nantinya akan membentuk suatu bangsa lain.
Ada hal yang tak dapat dipungkiri mengenai karakter peradaban maupun budaya suatu bangsa dapat dilihat dari gaya hidup serta pola pikir para wanita dari bangsa tersebut. Dimana dapat kita ketahui bahwa bangsa dengan peradaban kuat memiliki para wanita yang kuat dalam menjaga dan menggenggam teguh peradaban yang dimiliki oleh bangsanya.
Sehingga, bangsa ini tidak mudah terombang-ambing dan tergerus oleh carut marutnya peradaban dalam bilik transformasi. Atau bangsa yang semacam ini justru memiliki kans yang kuat memberi pengaruh terhadap bangsa lain.
Secara kasat mata dapat kita lihat bahwa bangsa-bangsa yang memiliki basic budaya dan peradaban yang berakar dari spirit religi mampu bertahan secara kokoh di tengahnya derasnya arus transformasi.
Hal ini dapat kita lihat dari peradaban bangsa-bangsa Jazirah Arab dan Bumi Hindustan. Sehingga wanita-wanita dari bangsa ini dapat menikmati tempat yang agung dan damai dalam pelukan budaya dan peradaban yang mereka yakini.
Di sisi lain bagi bangsa yang memiliki budaya dan peradaban yang berakar pada cipta, rasa dan karsa kehidupan terlihat sibuk berdandan dalam menghadapi arus tranformasi. Sehingga proses akulturasi pun menjadi pilihan yang terbijak, bahkan tak sedikit yang terlempar dalam lembah rekulturasi.
Dalam kondisi semacam ini maka segenap secara pelan sebuah bangsa akan menjadi bulan-bulanan dari berbagai produk budaya bangsa lain yang secara sporadis saling mempengaruhi antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Bangsa yang lemah menjaga peradabannya akan menjadi bangsa yang paling pertama menikmati kehancuran identitas kebangsaannya, yang tentunya juga akan menempatkannya sebagai bangsa yang terbelakang.
Maka dalam hal ini, kita kembali kepada barisan kalimat diatas tadi, bahwa peran wanita menjadi sangat vital dalam menjaga keagungan peradaban sebuah bangsa. Maju atau mundurnya sebuah bangsa sangatlah berpengaruh dari bagaimana cara memperlakukan dan menempatkan peran perempuan dalam peradabanya. [*]

Saliem Sabendino,
Penulis adalah penggiat teater dan bergiat di Teater Sokosiji Kudus