Penanganan Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus


Yulina Eva Riany

TIDAK dapat dipungkiri, pengasuhan anak berkebutuhan khusus (ABK) memerlukan tambahan energi, pemikiran, serta biaya yang lebih tinggi dibanding mengasuh anak-anak pada umumnya. Beberapa penelitian menunjukkan, orang tua yang memiliki ABK, memiliki tingkat stress yang lebih tinggi dalam kehidupan sehari-harinya, khususnya orang tua bagi anak penyandang autisme.
Penelitian menunjukkan, tingkat stress dan depresi orang tua sehari-hari yang tertinggi di antara orangtua ABK lainnya, seperti down syndrome, gangguan mental, dan lain sebagainya (Baker-Ericzen, 2005; Weiss, 2002).
Ini disebabkan banyaknya energi dan sum berdaya yang harus dikeluarkan dalam menangani ABK dalam pengasuhan sehari-hari. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah ABK pada 2007 mencapai 8,3 juta jiwa dari 82.8 juta populasi anak di Indonesia. Angka ini terus meningkat seiring peningkatan jumlah populasi anak di setiap tahunnya.
Tingkat stress yang tinggi tidak hanya dapat membahayakan kondisi mental orang tua, lebih jauh hal ini dapat menjadi penyebab utama timbulnya gangguan kesehatan maupun terjadinya perpecahan dalam keluarga.
Tak jarang orang tua yang tidak dapat melakukan coping strategy terhadap situasi dan kondisi ini, pada akhirnya memasrahkan anaknya kepada lembaga penanganan ABK, yang seringkali memiliki biaya tinggi dengan model penanganan yang tidak sesuai dengan kasus gangguan yang dialami.
Melihat fenomena ini, setidaknya terdapat tiga strategi yang biasa diadopsi oleh masyarakat di negara-negara maju dan berkembang seperti Australia (Ros & Cuskelly, 2006), China (Chen & Silbereisen, 2010), dan Iran (Assadi, 2011).
Pertama, penguatan kondisi mental orangtua. Strategi ini membutuhkan peran aktif orang tua dalam melakukan pengasuhan ABK. Beberapa strategi yang dibutuhkan oleh orang tua ABK di antaranya perlu menyediakan waktu untuk dirinya sendiri, bekerjasama dalam pengasuhan dengan pasangan, dan aktif dalam mencari informasi mengenai ABK.
Orang tua perlu menyediakan waktu untuk dirinya sendiri, sebagai bentuk apresiasi terhadap diri sendiri yang sudah menyediakan waktu ekstra dan tenaga sehari-hari untuk mengasuh ABK. Misalnya, menyempatkan waktu bersosialisasi atau menyalurkan hobi pribadi merupakan cara-cara sederhana yang terbukti mampu menekan tingkat stres orang tua ABK.
Selain itu, perlunya berbagi dan bekerjasama dengan pasangan dalam pengasuhan sehari-hari. Penelitian menunjukkan, kerjasama pasangan suami-istri dalam pengasuhan ABK dapat menurunkan tingkat stress orang tua sebesar 60 persen (Kuhaneck, 2010).
Komitmen dan upaya saling mendukung antara pasangan dapat menguatkan mental mereka dalam menghadapi berbagai persoalan dalam pengasuhan ABK. Selain itu, orang tua juga harus aktif mencari informasi mengenai wawasan seputar ABK. Informasi ABK dapat diperoleh di rumah sakit, konsultan kesehatan, maupun ahli pendidikan anak berkebutuhan khusus. Upaya aktif ini diperlukan untuk membantu orang tua memahami dan mencari alternatif solusi dalam penanganan ABK sehari-hari.
Dukungan Sosial
Masih ada beberapa strategi lain yang bisa dilakukan dalam menangani ABK. Strategi kedua, adanya dukungan sosial yang memadai. Dukungan sosial memegang peranan luar biasa bagi keberlangsungan pengasuhan ABK.
Dukungan sosial dapat berupa dorongan moral, yang menguatkan dari masyarakat sekitar maupun keluarga terdekat. Melalui dukungan sosial, diharapkan orang tua ABK dapat berbagi pengalaman tentang pola asuh ABK. Hal ini belum banyak terlihat di lingkungan masyarakat kita, mengingat masih kuatnya kepercayaan bahwa memiliki ABK merupakan “karma” dari Tuhan. Sehingga, kecenderungan yang ada keluarga dengan ABK cenderung “dikucilkan” masyarakat.
Untuk menghapus kecenderungan ini, perlu peran pemerintah untuk memberikan edukasi kepada masyarakat umum tentang ABK. Edukasi ini dapat disampaikan melalui jalur media atau pos-pos pelayanan masyarakat untuk menyentuh masyarakat di areapinggiran atau pedesaan.
Ketiga, peran aktif pemerintah menyediakan pelayanan kesehatan dan konsultasi yang dapat dijangkau masyarakat. Ini, bahkan merupakan faktor yang sangat vital bagi masyarakat umum, terutama bagi mereka yang berada pada kelas sosial menengah ke bawah. Tidak dapat dimungkiri, pelayanan konsultasi dan kesehatan masih merupakan barang mahal. Apalagi konsultasi terkait dengan kebutuhan khusus yang  masih dianggap kebutuhan tersier.
Dengan demikian, masyarakat yang memiliki ABK cenderung “menyembunyikan” anak mereka di rumah ketimbang harus menghabiskan banyak biaya berkonsultasi, karena secara nyata masyarakat paham, kondisi tersebut merupakan gangguan permanen yang tidak dapat disembuhkan. Dengan menyediakan konsultasi ABK yang mudah dijangkau masyarakat, diharapkan ABK dapat mendapat pelayanan konsultasi yang mudah dan murah.
Pemerintah pun, harus menyediakan fasilitas penanganan ABK secara terpadu. Saat ini, pemerintah sudah memberikan perhatian kepada ABK melalui pembentukan Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) di bawah koordinasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktorat PSLB saat ini juga telah melakukan beberapa program penanganan ABK melalui pemberian beasiswa maupun penyediaan sekolah luar biasa (SLB). Namun, apabila kita menelaah kembali tujuh kriteria penggolongan ABK yang telah ditetapkan pemerintah per 2006, terdapat beberapa kriteria ABK yang tidak terdapat pada penggolongan tersebut, seperti autisme, gangguan pervasif, gangguan, belajar dan gangguan intelektual.
Akhirnya, penanganan ABK di masyarakat sering tidak sinkron dengan kasus yang terjadi. Bahkan penanganan di SLB-SLB cenderung menggabungkan seluruh gangguan dalam satu program yang jelas memiliki perbedaan fokus. Karena itu, pemerintah perlu memperkuat program dan sumber daya dalam penanganan ABK di masyarakat.
Sudah saatnya bangsa Indonesia mencurahkan perhatian kepada ABK yang saat ini masih menjadi masyarakat kelas dua dalam agenda pelayanan publik. ABK merupakan bagian dari generasi bangsa yang patut mendapatkan hak dan perhatian yang setara dengan anak-anak pada umumnya, agar ke depan, ABK juga bisa berkontribusi bagi pembangunan bangsa. (Sumber: kompi.org)

Yulina Eva Riany,
Mahasiswa Doktoral Bidang Psikologi Pendidikan dan Rehabilitasi dan Kesehatan Anak di The University of Queensland, Australia, juga Dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Institut Pertanian Bogor (IPB)