Jalan Pendidik Wesiati

WESIATI SETYANINGSIH, dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kelurahan beralih menjadi guru. Sejak kecil, tak pernah sedikitpun terbersit niat untuk bercita-cita menjadi pendidik anak bangsa. Pasalnya, kedua orang tua Wesi yang berprofesi sebagai guru, kerap kali menghutang di koperasi untuk membayar SPP sekolah anak-anak mereka. Gaji tak seberapa itu, harus digunakan untuk menutup lubang di setiap akhir semester.
Setelah menyelesaikan kuliah Sastra Inggris Universitas Diponegoro (Undip), Wesi mengawali karirnya sebagai PNS di Dinas Pariwisata. Tampak mentereng memang, bekerja dengan dinas berangkat pagi dan pulang sore. Namun, penghasilan yang didapat dari sana masih terbilang sedikit. Wesi kemudian memutuskan untuk pindah ke kelurahan pada 2000 silam. 
Meski upah bulanan profesi di tempat kerjanya yang baru lebih tinggi dibanding sebelumnya, bekerja di kelurahan tidaklah sesuai dengan hati nuraninya. Wesi memutuskan untuk mengikuti pendidikan akta empat. Setelah lulus, ia menjadi pengajar di SMP 9 Semarang.
Ibu dua anak tersebut mengaku, pendidikan akta empat selama satu tahun kurang membekali. Lalu ia mencari konsep bagaimana baiknya menjadi guru. Selama mengajar, Wesi menemukan bermacam-macam permasalahan dan kenakalan siswa-siswanya. Sebagai wali kelas, ia melakukan berbagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah-masalah siswanya. Kemudian menuangkan seluruh pengalamannya tersebut dalam sebuah buku yang berjudul “Tersesat di Jalan yang Benar”, yang didiskusikan di Universitas Muria Kudus (UMK) baru baru ini (31/1).
Diskusi inspiratif yang menghadirkan Wesiati Setyaningsih dan Wakil Dekan I Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) UMK Sri Utaminingsih dipandu oleh penulis Rumah Media Semarang, Wiwien Wintarto. Kegiatan yang diikuti guru, calon guru dan mahasiswa ini dibuka Kepala Lembaga Informasi dan Komunikasi (Linfokom) UMK, Muh Syafe’i.
Dalam seminarnya, Wesi mengatakan, bekal menjadi guru adalah rasa percaya diri, mampu menyayangi anak-anak, mampu melihat kelebihan anak dan melakukan usaha untuk mengasah bakat tersebut, lalu mau menerima kelemahan anak, dan mempunyai rasa ingin tahu. Ia mengaku, buku tersebut ditulis agar para orang tua siswa tau pekerjaan guru. “Agar orang tua atau wali tidak semata menyalahkan guru, karena tingkah laku anak ditentukan dan dibentuk dari lingkungan keluarga,” terangnya.
Sementara itu, Sri Utaminingsih lebih membahas tentang peran guru yang humanis dan inovatif. Berbeda dengan Wesi yang tersesat dulu di berbagai pekerjaan sebelum akhirnya menjadi guru, Utami mengaku sudah berkeinginan menjadi guru sejak kecil. Ketika kebanyakan guru menerima takdir sebagai guru, Utami meyakini dan mantap sebagai guru.
Setelah mengajar beberapa tahun, Utami sampai pernah keluar dari profesi guru karena menikah dan menjadi ibu rumah tangga selama 6 bulan. Namun, karena latar belakang suami dan dirinya sebagai aktivis organisasi yang menganggap uang bukanlah segalanya, akhirnya ia kembali mengajar dan melanjutkan pendidikan S2 beasiswa atas ijin suami.
Menurutnya, Semua calon guru dan guru harus membaca buku Ki Hadjar Dewantara. “Menteri Pendidikan dan Budaya, Anies Baswedan berpesan agar buku tersebut dijadikan sebagai kiblat pendidikan,” ujar Utami.
Dalam buku Ki Hadjar Dewantara, Manusia merdeka secara fisik, mental, dan kerohanian. Sistem among dengan metode pengajaran dan pendidikan yang asah, asih, dan asuh atau care and dedication based on love. “Landasan fisolosofisnya nasionalistik atau budaya nasional, bangsa merdeka dan independen baik secara politis, ekonomi maupun universal,” terang dosen asal Demak tersebut.
Tiga jenis guru yang diamati Utami adalah robotic teacher, materialistic teacher, dan human teacher. Robotic teacher kegiatannya hanya masuk, mengajar, dan pulang. Mirip robot yang selalu menjalankan perintah berdasarkan apa saja yang sudah diprogramkan. Sedangkan materialistic teacher lebih mirip dengan aktivitas bisnis jual beli. Dan yang terbaik adalah human teacher atau guru inspiratif yang mempunyai keikhlasan dalam hal mengajar dan belajar.
Di akhir diskusi, kedua narasumber tersebut sepakat bahwa hidup harus bermanfaat untuk orang lain. “Sertifikasi harus semakin memantapkan keprofesionalitasan guru,” tutup mereka yang disambut riuh tepuk tangan peserta. (Lum/Anq)