![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibetkKN5WRoeQn1dLHIOv4mQaPdSs-rWs8JkyRsG5RkY8wGPTTH-jdiOYcvzHDagZ4LN8CJ7u3HNGaWZ-urUAMazt9fZ6b1o9zYFOdSLa5XWcSl3pOHayPvoR9HN1cRjeE9WU_0IphxUlN/s320/wesiati.jpg)
Setelah
menyelesaikan kuliah Sastra Inggris Universitas Diponegoro (Undip), Wesi
mengawali karirnya sebagai PNS di Dinas Pariwisata. Tampak mentereng memang,
bekerja dengan dinas berangkat pagi dan pulang sore. Namun, penghasilan yang
didapat dari sana masih terbilang sedikit. Wesi kemudian memutuskan untuk
pindah ke kelurahan pada 2000 silam.
Meski upah
bulanan profesi di tempat kerjanya yang baru lebih tinggi dibanding sebelumnya,
bekerja di kelurahan tidaklah sesuai dengan hati nuraninya. Wesi memutuskan
untuk mengikuti pendidikan akta empat. Setelah lulus, ia menjadi pengajar di
SMP 9 Semarang.
Ibu dua anak
tersebut mengaku, pendidikan akta empat selama satu tahun kurang membekali.
Lalu ia mencari konsep bagaimana baiknya menjadi guru. Selama mengajar, Wesi
menemukan bermacam-macam permasalahan dan kenakalan siswa-siswanya. Sebagai
wali kelas, ia melakukan berbagai pendekatan untuk menyelesaikan
masalah-masalah siswanya. Kemudian menuangkan seluruh pengalamannya tersebut
dalam sebuah buku yang berjudul “Tersesat di Jalan yang Benar”, yang
didiskusikan di Universitas Muria Kudus (UMK) baru baru ini (31/1).
Diskusi
inspiratif yang menghadirkan Wesiati Setyaningsih dan Wakil Dekan I Pendidikan
Guru Sekolah Dasar (PGSD) UMK Sri Utaminingsih dipandu oleh penulis Rumah Media
Semarang, Wiwien Wintarto. Kegiatan yang diikuti guru, calon guru dan mahasiswa
ini dibuka Kepala Lembaga Informasi dan Komunikasi (Linfokom) UMK, Muh Syafe’i.
Dalam
seminarnya, Wesi mengatakan, bekal menjadi guru adalah rasa percaya diri, mampu
menyayangi anak-anak, mampu melihat kelebihan anak dan melakukan usaha untuk
mengasah bakat tersebut, lalu mau menerima kelemahan anak, dan mempunyai rasa
ingin tahu. Ia mengaku, buku tersebut ditulis agar para orang tua siswa tau
pekerjaan guru. “Agar orang tua atau wali tidak semata menyalahkan guru, karena
tingkah laku anak ditentukan dan dibentuk dari lingkungan keluarga,” terangnya.
Sementara
itu, Sri Utaminingsih lebih membahas tentang peran guru yang humanis dan
inovatif. Berbeda dengan Wesi yang tersesat dulu di berbagai pekerjaan sebelum
akhirnya menjadi guru, Utami mengaku sudah berkeinginan menjadi guru sejak
kecil. Ketika kebanyakan guru menerima takdir sebagai guru, Utami meyakini dan
mantap sebagai guru.
Setelah
mengajar beberapa tahun, Utami sampai pernah keluar dari profesi guru karena
menikah dan menjadi ibu rumah tangga selama 6 bulan. Namun, karena latar
belakang suami dan dirinya sebagai aktivis organisasi yang menganggap uang
bukanlah segalanya, akhirnya ia kembali mengajar dan melanjutkan pendidikan S2
beasiswa atas ijin suami.
Menurutnya,
Semua calon guru dan guru harus membaca buku Ki Hadjar Dewantara. “Menteri
Pendidikan dan Budaya, Anies Baswedan berpesan agar buku tersebut dijadikan
sebagai kiblat pendidikan,” ujar Utami.
Dalam buku
Ki Hadjar Dewantara, Manusia merdeka secara fisik, mental, dan kerohanian.
Sistem among dengan metode pengajaran dan pendidikan yang asah, asih, dan asuh
atau care and dedication based on love.
“Landasan fisolosofisnya nasionalistik atau budaya nasional, bangsa merdeka dan
independen baik secara politis, ekonomi maupun universal,” terang dosen asal
Demak tersebut.
Tiga jenis
guru yang diamati Utami adalah robotic
teacher, materialistic teacher, dan
human teacher. Robotic teacher
kegiatannya hanya masuk, mengajar, dan pulang. Mirip robot yang selalu
menjalankan perintah berdasarkan apa saja yang sudah diprogramkan. Sedangkan materialistic teacher lebih mirip dengan
aktivitas bisnis jual beli. Dan yang terbaik adalah human teacher atau guru inspiratif yang mempunyai keikhlasan dalam
hal mengajar dan belajar.
Di akhir
diskusi, kedua narasumber tersebut sepakat bahwa hidup harus bermanfaat untuk
orang lain. “Sertifikasi harus semakin memantapkan keprofesionalitasan guru,”
tutup mereka yang disambut riuh tepuk tangan peserta. (Lum/Anq)